Menurut catatan WHO-SEARO, pada 2005 Indonesia mengalami kasus
demam berdarah terbanyak di Asia Tenggara (53%) dengan total 95.279
kasus dan 1.298 kematian (Intisari, Nov 2013).
Demam Berdarah ini merupakan salah satu penyakit yang masih jadi
masalah di Indonesia. Kasusnya timbul tenggelam. Kalau mau jujur ada
banyak faktor yang menjadi penyebabnya.
Yang paling utama adalah masih tersebar dan nyamannya Aedes sp
yang jadi nyamuk pembawa penyakit DBD ini berada di rumah dan lingkungan
tempat tinggal manusia. Penangan kasus penyakit yang belum integral dan
menyuruh.
Artinya, ketika di rumah kita ada yang sakit positif DBD, harusnya
semua anggota keluarga yang tinggal di rumah tersebut diperiksa
darahnya. Jangan-jangan anggota keluarga yang tidak sakit pun ternyata
positif ada virus DBDnya.
Hal ini kalau tidak dilakukan, maka bila anggota keluarga yang
lain positif ada virus DBDnya dan tidak diobati. Sementara itu, di
rumahnya ada nyamuk penular DBD, maka sangat besar kemungkinan penyakit
tersebut akan muncul dan menyebar lagi.
Berburu Nyamuk
Dalam melakukan pengendalian penyakit DBD ini, kita bisa belajar dari
apa yang dilakukan NEHCRI-suatu lembaga penelitian kerja sama antara
Singapura dan Indonesia untuk mendeteksi penyakit khususnya TB dan
Dengue.
Sejak tahun 2006, dr. Isra Wahid, PhD dan timnya dari NEHCRI berusaha
menurunkan tingkat kasus demam berdarah dengue di Makassar. Alih-alih
melakukan penyemprotan setelah laporan kasus diterima seperti perlakuan
standar yang diterapkan oleh Dinas Kesehatan setempat, Wahid dan timnya
justru melakukan penyemprotan jauh sebelum laporan kasus biasanya
meningkat.
Dua bulan sebelum puncak musim hujan, survei terhadap Angka Bebas
Jentk (ABJ) dilakukan oleh sekitar 1.000 kader dan petugas Puskesmas di
Makassar selama dua minggu. Penentuan waktu survei ABJ serta
penyemprotan in didapatkan dengan menarik mundur atu hingga dua bulan
dari waktu prediksi puncak curah hujan tahunan yang dibuat oleh Badan
Meterorologi dan Geofisika. Jika suatu Kelurahan memiliki angka bebas
jentik kurang dari 60%, penyemprotan segera dilakukan tanpa mengganggu
jadwal yang dilakukan oleh Dinkes.
Tindakan seperti itu, hasilnya ternyata cukup efektif. Sejak 2007
hingga 2011, Wahid dan timnya berhasil mengurangi infeksi virus dari
rata-rata 896 kasus per tahun, menjadi 292 kasus per tahun. Bahkan pada
tahun 2001, kasus demam berdarah di Makassar mencapai angka 1.718.
Berkat metode tersebut yang dilakukan terus menerus setiap tahun,
sepuluh tahun kemudian kasus dengue yang dimiliki Makassar hanya
mencapai angka 86 kasus.
Lebih jauh, melalui metode seperti itu, menurut Wahid, justru
insektisida digunakan secara lebih efesien, dan banyak nyamuk tak akan
menjadi resisten di daerah tertentu.
Coba semua daerah endemis DBD di Indonesia melakukan hal tersebut,
tentu kasus penyakit DBD akan menjadi menurun. Bagaimana ada daerah lain
yang mau menerapkan metode tersebut? Saya tunggu kabar baik
selanjutnya.
Pangandaran, 12 Nov 2013
Arda Dinata adalah Peneliti Kesehatan dan Penulis Buku "BERSAHABAT DENGAN NYAMUK: Jurus Jitu Atasi Penyakit Bersumber Nyamuk."